Novel Cerita Silat Jawa

TDM [03]

Dalam pada itu Ki Demang Wulungan pun mulai meningkatkan serangan. Tidak ada lagi beban dihatinya, setelah Linggar berhasil mengalahkan Suwandana. Dikerahkan tenaganya dan menyerang seperti banjir bandang, jurus-jurusnya mampu menerobos pertahanan Sura Keling. Sura keling makin terdesak mundur dengan napas terengah-engah. Ketika tubuhnya mulai limbung, Ki Demang Wulungan meloncat menendang lambung Sura Keling. Pria bertubuh gelap itu terdorong surut beberapa langkah, kemudian jatuh rebah ditanah.

Ki Wulungan yang merasa tersinggung atas perbuatan orang-orang yang merusak paugeran yang berlaku itu, mendekati Sura Keling yang tergeletak di tanah. Ia menginjak leher Sura Keling, lalu berkata,” Ketahuilah orang-orang Kademangan Matesih! Aku sudah difitnah. Mereka telah bersekongkol menuduhku pemberontak. Padahal, dua orang yang aku tolong itu karena unsur kemanusiaan, terlepas dia laskar Jipang atau bukan.”

Semua orang yang ada di halaman dan rumah Ki Demang itu terdiam kaku. Ki Bekel yang mulanya berapi-api ingin menangkap Ki Demang menjadi pucat wajahnya.Sura Keling yang diandalkan dapat mengalahkan Ki Demang ternyata gagal dan tergeletak ditanah, meskipun masih bernapas. Di sisi lain dua penjaga regol yang melawan empat orang pengawal kademangan pun terhenti pertarungannya. Empat orang pengawal kademangan itu pun sengaja menghentikan pertarungan terlebih dahulu. Mereka dibuat terpaku dengan kemampuan demang di Matesih, yang mampu mengalahkan Sura Keling dan juga kegigihan Linggar dalam menghadapi Suwandana yang secara usia lebih dewasa.

Belum sempat keadaan mencair, mereka dikejutkan kehadiran rombongan berkuda yang berjumlah tujuh orang. Terdiri dari lima orang pengiring dan dua orang dimuka, salah satunya adalah Ki Jagabaya. Ki Jagabaya yang melihat anaknya terduduk dengan bibir berdarah langsung membimbing anaknya berdiri. Ditatapnya Linggar yang masih berdiri dengan mata membara.

“Bodohnya kau Suwandana! Menangkap anak ingusan saja tidak bisa.”

Suwandana hanya tertunduk dalam. Kemudian Jagabaya itu menghampiri Ki Demang Wulungan yang masih berdiri menghadap Sura Keling yang terkapar.

“Aku datang bersama prajurit Demak, Ki Demang!”

“Aku sudah menduga niat busukmu! Kau mencoba menjeratku diantara kisruh antara Demak dan Jipang.”

Ki Jagabaya mencoba mengendapkan hatinya dihadapan senapati Demak.

“Sudahlah Ki Demang kau sudah tertangkap tangan, jalan terbaik hanyalah mematuhi paugeran yang berlaku.”

“Beraninya kau!”sahut Ki Demang dengan suara tinggi. Lalu tangannya diangkat tinggi hendak menampar Jagabaya itu.

Akan tetapi senapati yang datang bersama Ki Jagabaya itu memperingatkannya. “Cukup! Jangan memperluas persoalan kemana-mana. Aku Jipayana, senapati yang diutus ingkang sinuwun di Demak. Aku mencari dua buron yang melarikan diri dari lereng Tidar beberapa waktu lalu. Dan menurut Ki Jagabaya di Matesih, kau telah menyembunyikan dua buron itu! Benar begitu Ki Demang?”

Bagai petir di siang hari Ki Wulungan mendengar tuduhan itu lagi. Tetapi dicobanya untuk mengendapkan perasaannya yang bergejolak. “Ki Jipayana. Aku tidak pernah ingkar akan kuasa Demak atas bumi Matesih. Tetapi tuduhan memberontak ada tuduhan yang paling keji bagiku, tidak pernah secuil pun aku meragukan kedaulatan Demak atas kademangan yang aku pimpin. Untuk apa pula aku memberontak, tanah Matesih adalah tanah yang subur, rakyatnya dapat menuai padi lebih dari satu kali setahun.”

Ki Jipayana mengangguk-angguk, “Baiklah Ki Demang, Buktikan jika kau tak bersalah!”

“Hadirkan kedua buron itu ditempat ini! Kita dapat mendengarkan pengakuan mereka, disaksikan orang-orang yang hadir ditempat ini!” perintah Ki Jipayana.

Ki Demang langsung memerintahkan dua penjaga regol itu, untuk menghadirkan dua buron itu ke halaman pendapa Ki Demang. Semua yang hadir berdebar-debar menantikan kesaksian dari dua buron Jipang itu. Ki Jagabaya dan Ki Bekel tampak tenang-tenang saja, kesan di wajah mereka datar saja.

Tiba-tiba suasana yang mencekam itu dikejutkan oleh seorang penjaga regol tadi yang ditugaskan menghadirkan dua buron itu. “Celaka Ki Demang! Dua buron itu..., dua buron itu...,” suaranya terbata-bata.

Ki Demang pun menegang, “Katakan dengan jelas! Apa yang terjadi dengan mereka?”

“Satu orang tewas, dan yang satu lagi tidak ada di dalam biliknya!”

“Apa kau bilang?” kata Ki Demang dengan mata terbelalak.

Ki Demang langsung bergegas ke bilik pekarangan rumahnya. Diikuti para bebahu dan senapati tadi, serta prajurit Demak.

Hatinya bertambah panas melihat kenyataan yang terjadi, dilihatnya hanya seorang saja dibilik itu dalam keadaan bersimbah darah.

“Biadab! Aku rasa orang yang membunuhnya sungguh tak punya hati!” ujar Ki Demang dengan nada geram.

“Silahkan Ki Jipayana, apakah kau akan tetap menggelandangku ke Demak? Atau kau akan percaya kata-kataku? Orang yang aku anggap bisa mematahkan tuduhan kalian telah kabur dan satu lagi dibunuh secara keji!”

Semua yang menyaksikan itu menjadi tegang, Ki Jipayana pun mencoba memperhatikan orang yang terbunuh itu.

Ia tertusuk keris dilambungnya. Aku rasa ia terbunuh dalam keadaan tidak siap, atau dia dalam keadaan tertidur!” ujar senapati itu sambil mengerutkan dahi.

Tetapi Ki Jagabaya segera membantah pendapat Ki Jipayana, “Dia dibunuh orang suruhan Ki Demang, Ki Jipayana!”

“Jaga bicaramu Jagabaya! Cukup sudah mulut lancangmu itu menuduhku, biarlah Ki Jipayana yang memutuskan,” kata Ki Demang membentak.

Ki Jagabaya hanya terdiam, sekilas dipandangnya Ki Bekel yang menggamit tangannya, seolah memberi isyarat untuk menahan diri. “Sudahlah Ki Jagabaya, demang itu pasti akan dibawa ke Demak,” bisik Ki Bekel.

“Baiklah aku akan mengambil sikap,” berkata Ki Jipayana. “Orang yang harusnya menjadi saksi kini sudah tidak ada. Tugasku menjadi semakin berat, karena satu orang buron yang selamat dari pembunuhan itu belum diketahui nasibnya. Aku sudah satu tahun ingin menumpas laskar yang mereka berdua pimpin, itu artinya satu orang yang tersisa itu dapat mengobarkan pemberontakkan di tlatah Demak,” Senapati itu menarik napas panjang.

“Ki Demang Wulungan.., aku membutuhkan kesediaanmu dan putramu untuk ikut bersamaku Ke Demak.”

“Apakah itu artinya, aku dinyatakan bersalah?” kata Ki Demang dengan nada dalam.

“Aku tidak bisa memutuskan itu sekarang Ki Demang. Tetapi keteranganmu sangat dibutuhkan disana. Yang membuatku heran, laskar yang membuat landasan di lereng Tidar itu sangat kuat. Aku berkesimpulan ada pihak yang menyokong pemberontakkan mereka dari daerah sekitar gunung Tidar itu.”

Tatapan Ki Jipayana menyambar orang-orang yang hadir di bilik pekarangan rumah Ki Demang itu. Tetapi mimik wajah Ki Jagabaya dan Ki Bekel tetap datar-datar saja, mereka berusaha menyembunyikan kesan di mata senapati Demak itu.

Ki Demang Wulungan mengerutkan dahinya, berpikir. Tapi ia memantapkan hatinya, bahwa memang dia tidak bersalah. Ki Demang mendekati Linggar putranya, “Linggar.., kau dengar kata Ki Jipayana tadi?”

Linggar tak menjawab, hanya mengangguk. Sebenarnya amarah di dadanya masih membara kepada para bebahu yang telah memfitnah keluarganya, akan tetapi ditekannya perasaan itu di depan ayahnya.

“Bersiaplah. Mohon doa restu dari ibumu!” kata Ki Demang lalu bergegas ke pendapa.

“Nyi.” Aku pamit akan ke Demak bersama Linggar. Jagalah anak perempuan kita itu satu-satunya.”

“Kau akan kembali bukan?” tanya Nyi Demang dengan air mata yang berjatuhan.

Ki Demang tidak menjawab, ia hanya mengelus rambut istrinya yang bersimpuh dilututnya. Tetapi kemudian anak perempuannya pun meloncat memeluk tubuhnya. Makin berat rasanya hati Ki Demang untuk meninggalkan keduanya. Walaupun ditahannya air matanya, tetapi kesedihan yang mendalam membuat matanya berkaca-kaca pula.

“Jagalah ibumu Anggit,” kata Ki Demang dengan suara berat.

Ki Demang langsung melepaskan pelukan anak dan istrinya, lalu menuju pringitan untuk berkemas.

“Kakang...!” pekik Nyi Demang dengan suara serak. Diiringi tangis anak perempuannya yang memilukan.

Linggar yang sedari tadi berdiri mematung dengan kepala tertunduk pun, langsung menabrak dan bersimpuh di kaki ibunya.

“Aku minta restumu ibu,” katanya dengan nada parau.

“Kau akan pergi juga ngger?”

“Apa boleh buat ibu, mereka telah menyeretku dalam masalah ini!”

“Kakang!” kata Anggit. “Siapa yang akan menjaga kami dirumah ini, jika kakang Linggar juga pergi?”

Linggar mengangkat wajahnya dan membelai rambut adiknya. “Kau sudah besar Anggit, kini dipundakmulah tugas itu!”

Tangis Anggit pecah dihalaman pendapa itu. Ia terbayang ketika masing kecil selalu dijaga kakaknya jika teman laki-lakinya mengganggunya.

“Aku pamit ibu!” kata Linggar dan langsung menuju pringitan.

Nyi Demang melepas jabatan tangan Linggar dengan berat, ia tidak dapat berkata-kata lagi, Kerongkongannya terasa tersumbat.

“Jangan menangis Anggit! Kakakmu pasti akan kembali,” kata Nyi Demang sambil mengelus punggung Anggit yang memeluknya erat.

Beberapa saat kemudian, Ki Demang Wulungan dan Linggar muncul dari samping rumahnya sambil menuntun kuda.

“Kami sudah siap Ki Jipayana.”

“Baiklah Ki Demang. Aku menghormati niat baikmu, aku tidak akan mengikatmu, karena kau belum diputuskan bersalah,” ujar Ki Jipayana.

Kemudian kelima orang prajurit dan Ki Jipayana, serta Ki Demang dan Linggar meninggalkan halaman itu dengan berkuda. Nyi Demang dan Anggit memandang kosong kepergian mereka, rasanya darahnya terasa berhenti mengalir melepas kepergian mereka ke Demak. Kedamaian hidup yang dijalaninya bersama suaminya mendadak seperti kehampaan yang ada.

Ketika melintas regol. Ki Demang Wulungan tidak menatap bebahunya, pandangannya hanya lurus ke muka. Berbeda dengan Linggar yang wajahnya mendadak merah, melihat senyum sinis anak Ki Jagabaya, Suwandana.

Bagai api di dalam sekam, rasanya dadanya seperti akan meledak. Linggar menatap tajam Ki Jagabaya dan Ki Bekel, tetapi kedua bebahu itu malah melemparkan pandangannya ke arah pintu regol yang terbuka.

Suwandana mencoba melampiaskan kekesalannya, setelah sebelumnya dikalahkan Linggar. Ia sengaja memancing kemarahan Linggar, “hei lihat anak pemberontak itu! Ia masih berani menengadahkan wajah tanpa rasa malu!”

Linggar kupingnya terasa panas mendengar ejekan Suwandana di depan para pengawal kademangan yang tersenyum sinis pula mengejeknya.

“Ingat aku akan kembali dan membunuh kalian satu persatu! Kau Suwandana, Jagabaya dan kau juga Ki Bekel!” ujar Linggar dengan nada tinggi.

Sorot mata Linggar menembus jantung mereka yang dimaksud. Tetapi ancaman Linggar di dengar ayahnya, yang berkuda perlahan di depan.

“Kendalikan dirimu Linggar! Jangan pernah kau memupuk dendam dihatimu!” ujar Ki Demang. Ki Demang tidak berkata lagi, ia kembali melangkahkan kudanya melewati regol.

Linggar hanya tertunduk mendengar peringatan ayahnya. Sementara para prajurit Demak itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.

Rombongan berkuda itu meninggalkan kademangan dengan perlahan. Sepanjang jalan utama, Ki Demang melihat rakyatnya turut prihatin, tetapi ada pula yang sudah terkena hasutan seperti berbisik menggunjingnya. Linggar hanya menundukkan kepala, rasanya tak mampu lagi ia menatap rakyat Matesih yang sepertinya mencemoohnya.

Ketika melewati sebuah kelokan jalan di sudut desa, dilihatnya tanah lapang dan pohon sawo yang berbaris, tempat dia biasa berkumpul bersama teman sebayanya. Ia menarik napas dalam-dalam sepertinya berat meninggalkan teman-teman sepermainannya, mereka biasa bersenda gurau di tanah lapang itu, bahkan kadang sampai senja hari mereka baru pulang dari tempat itu.

Tetapi Linggar terkejut ketika mendengar suara seseorang memanggil namanya. Dilihatnya gadis yang seumuran dengan adiknya berlari-lari kecil menyusulnya.

“Kakang Linggar..! kakang Linggar akan pergi kemana?” tanya gadis itu.

“Kembalilah, kembalilah..! jangan mengikutiku, jagalah adikku Anggit sampai aku kembali!” ujar Linggar.

Gadis itu terengah-engah dan membungkuk memegang lututnya, ia tidak mengejar lagi, ketika sebuah tangan menahannya.

“Pulanglah Gayatri! Tidak pantas kau mengejar-ejar anak pemberontak itu!” berkata seorang lelaki setengah baya.

“Kakang Linggar salah apa, ayah?” tanya gadis yang dipanggil Gayatri tadi dengan suara tersengal.

“Jangan bertanya lagi, dia akan dihukum di Demak!”

Gayatri tidak bertanya lagi ketika ayahnya membimbingnya pulang, hanya sesekali wajahnya menoleh kebelakang melihat rombongan berkuda itu hilang di ujung jalan yang menyerong.

Prev-->Seri02                   Next-->Seri04

1 komentar:

Pengikut