Sementara itu Ki Wulungan yang
bertempur melawan Kiai Jambe Abang telah sampai pada puncaknya. Dibawah
derasnya guyuran hujan, mereka telah saling menggempur. Tetapi nampak jelas
walaupun keduanya mampu berkelahi secara seimbang, kemampuan Ki Wulungan masih
berada selapis diatas Kiai Jambe Abang. Kiai jambe Abang selalu menyerang
dengan jari mengepal dan kadang telapak tangannya menguncup seperti kepala ular
yang mematuk. Berbeda dengan jurus yang digunakan Ki Wulungan, jemari kedua
tangannya membentuk seperti cakar elang. Kadang mencakar, mencengkeram, tetapi
dapat pula mematuk dengan melipat jemarinya.
Kiai Jambe Abang tak mampu
menghindar, ketika jemari Ki Wulungan mencengkeram pundaknya. Jari Ki Wulungan
menancap dipundaknya hingga mengeluarkan darah, Kiai Jambe Abang mencoba menarik
pundaknya untuk menghindar, akibatnya bajunya robek dan terlihat pundaknya pun
koyak. Air hujan menambah pedih luka dipundak Ki Jambe Abang, ia pun menggeram
marah sambil menatap sahabatnya yang sama-sama pernah mengabdi di Demak.
“Luar Biasa kau Wulungan! Kau
memang masih setangguh dulu.
“Tapi jangan harap kau bisa menang
dengan ajian Sembur Geni milikku!”
Ki Wulungan menegang sejenak, lalu
berkata, “pikirkan kembali tindakanmu Jambe Abang! Apa yang kau pertaruhkan
disini?”
“Jangan banyak berkicau Wulungan!
Aku tahu kau dapat hidup senang dan bermewah-mewah sekarang, dengan jabatanmu
sebagai demang, kau pun dapat melakukan apa saja!”
“Kau salah sangka Jambe Abang! Aku
tidak seperti yang kau sangkakan.
“Kau lihat diriku sebelumnya
Wulungan! Apa yang kudapat setelah aku berhenti menjadi prajurit? Tanah secuil
di kampung halamanku pun sudah aku jual untuk membiayai hidup keluargaku!”
“Tetapi bukan dengan cara ini kau
mengisi hari tuamu Jambe Abang.”
Kata-kata Ki Wulungan menyentuh
dinding hati Kiai Jambe Abang, tetapi dikuatkan hatinya untuk membulatkan
tekadnya.
“Sudahlah. Aku berterimakasih kau
mengingatkanku Wulungan, tetapi kita sekarang berada di pihak yang berbeda.”
“Bersiaplah!”
Ki Wulungan sejenak memperhatikan
keadaan dibawah guyuran hujan air sungai makin meluap. Kemudian dilihatnya pula
Linggar dan Raden Pamekas yang dibantu seorang prajurit makin kewalahan, karena
jumlah laskar Jipang itu lebih banyak.
Tiba-tiba ia berteriak lantang, “Ki
Jipayana! Lindungi Raden Pamekas dan anakku! Biarlah ia naik ke tebingan, air
sungai ini akan meluap!”
Ki Jipayana yang sedang bertempur
berpasangan pun terkejut, lalu berkata, “Bagaimana dengan kau Ki Wulungan?”
“Jangan hiraukan aku, Raden Pamekas
adalah tanggung jawabmu!”
Ki Jipayana pun tersentuh mendengar
pengorbanan Ki Wulungan, tiada pamrih dihatinya untuk membela Demak. Bagaimana
pun juga sisa-sisa kebanggaannya sebagai prajurit Demak masih membekas.
Ki Jipayana langsung memberi
isyarat pada Raden Pamekas dan Linggar, serta prajurit yang tersisa. Ki Jipayana
mengambil pedang yang tergeletak ditanah, lalu menghunusnya, kini kedua belah tangannya
menggenggam pedang.
Ki Jipayana bersama seorang
Prajurit membentengi Raden Pamekas dan Linggar. Walaupun serangan laskar Jipang
itu bertubi-tubi, akan tetapi dengan kedua belah pedang ditangan Ki Jipayana
mampu bertahan.
“Raden! Lekaslah naik ke tepian!”
Raden Pamekas agak ragu,tetapi
dilihatnya air ditepian itu mulai naik sampai setinggi lutut. Lalu ditariknya tangan
Linggar dan dibawanya naik ke atas tebingan sungai Praga.
Sementara itu Ki Wulungan dan Kiai
Jambe Abang telah bersiap membenturkan ilmu pamungkasnya. Kiai Jambe Abang
memusatkan seluruh raganya, beberapa kali ia menggesek kedua telapak tangannya,
lama kelamaan kedua telapak tangannya membara dan membentuk bulatan api kecil. Lalu
membolak-balikkan telapak tangannya itu di dada. Makin lama bulatan api itu
semakin membesar, sebesar kepala manusia dewasa.
Ki Wulungan pun telah pula
membangun kekuatan pada dirinya. Ia berdiri dengan kaki renggang, sementara
jemarinya yang berbentuk menyerupai cakar elang bergerak naik-turun di depan dada.
Gerakkan cakar elang itu semakin cepat, bahkan kedua tangan itu terlihat
seperti berpuluh-puluh tangan. Disertai angin yang menyelimuti tangan itu,
hujan yang mengguyur pun seperti terpercik oleh pusaran angin yang membelit
tangannya. Air yang kini telah setinggi
pahanya pun menyibak diterpa angin yang berputar-putar ditangannya.
Raden Pamekas dan Linggar dibuat
tertegung melihat pemandangan yang dahsyat itu. Beberapa prajurit pun sempat
tersita pandangannya, disela pertempuran.
“Ajian Bayu Semesta!” gumam Raden
Pamekas.
“Ayahmu luar biasa Linggar!”
Linggar yang sebenarnya berdebar-debar
dan khawatir akan keselamatan ayahnya, hanya menatap sekilas Raden Pamekas,
lalu diarahkan kembali pandangannya kepada ayahnya yang sedang menyiapkan ajian
pamungkasnya.
Kedua bekas prajurit Demak, yang
kini menjalani takdirnya masing-masing itu, menatap tajam lawan yang dihadapi. Kiai
Jambe Abang berteriak nyaring, diiringi hentakkan bola api ditangannya. Bola
itu itu pun melesat diantara rinai hujan yang membasahi tepian sungai Praga.
Pun begitu dengan Ki Wulungan.
Pusaran ajian Bayu Samudra dihentakkan dengan telapak tangan terbuka. Pusaran angin itu pun melesat dengan cepat ke
arah bulatan api yang dilontarkan Kiai
Jambe Abang.
Terjadi benturan yang amat dahsyat.
Bulatan api dan pusaran angin itu beradu, kemudian menimbulkan suara ledakan
yang keras. Air sungai pun sempat bergejolak dan menyibak karenanya.
Kiai Jambe Abang terdorong surut
beberapa langkah kebelakang, kemudian tubuhnya terantuk batu seukuran kerbau.
Ia menyandarkan tubuhnya pada bongkahan batu tersebut. Ia terengah-engah dan
tubuhnya terasa sakit. Pusaran angin itu bagai beratus-ratus jarum yang menusuk
tulang. Kiai Jambe terbatuk-batuk, beberapa saat kemudian meleleh darah dari
bibirnya.
Keadaan Ki Wulungan pun tak jauh
beda, ia surut kebelakang dua langkah. Meskipun sedikit limbung ia masih mampu
berdiri berpijak dengan kedua kakinya. Walaupun terbatuk-batuk tetapi ia tidak
sampai menitikkan darah. Meskipun dibawah guyuran hujan deras, tetapi bulatan
api itu terasa panas di sekujur tubuh Ki Wulungan, kendatipun tidak membuat
tubuhnya melepuh.
Kedua arena pertarungan terhenti
seketika, mereka dibuat terkesima dengan benturan kedua ksatria itu.
Tetapi mendadak ketegangan itu
dikejutkan suara gelegar petir yang bersahut-sahutan, ditambah angin yang berhembus
kencang serta langit yang menghitam.
Dari arah hulu sungai terdengar
suara seperti batu runtuh dan suara gemuruh air sungai yang membuat bulu kuduk
meremang. Terdengar pula suara gemeretak ranting pohon seperti berpatahan.
Semua mata menatap ke aliran sungai
yang lebih tinggi, yaitu dari arah hulu. Kemudian terlihat air bah seperti
raksasa dengan cakar-cakarnya yang lebar, siap mencengkeram orang-orang yang
ada di tepian.
Tanpa dapat berbuat banyak
orang-orang di tepian itu terperangkap banjir bandang. Baik laskar Jipang,
maupun prajurit Demak dibawah pimpinan Ki Lurah prajurit yang berhadapan dengan
Bonggol dan kawanannya, maupun Ki Jipayana dan seorang prajurit yang melindungi
Raden Pamekas dan Linggar, semua dilahap habis banjir bandang. Tidak terkecuali
Kiai Jambe Abang dan Ki Wulungan Demang di Matesih.
Yang selamat hanya Raden Pamekas
dan Linggar yang ada di atas tepian sungai Praga.
0 komentar:
Posting Komentar