Novel Cerita Silat Jawa

TDM 01



Suara petir menggelegar dan saling bersambung di udara menambah suasana malam itu begitu mencekam. Suaranya seakan-akan memenuhi puncaknya bukit Tidar, bahkan suara gemuruhnya itu menggema sampai pada bagian lereng-lereng dibawahnya. Suara menggelegar itu bak dentuman meriam yang diletuskan berkali-kali dan membentur batu karang. Kilatan-kilatan cahaya yang berwarna putih, membias seperti urat-urat nadi yang menjalar dari langit ke bumi. Bias cahaya putihnya sesekali mampu menerangi lereng-lereng bukit pada pekatnya malam. Siraman hujan lebat yang mengguyur malam itu, membuat tanah-tanah di sekitar lereng itu menjadi becek dan berlumpur. Ditambah lagi sisa-sisa bekas pertempuran yang bernoda merah darah, seketika itu juga tersapu aliran air hujan dari puncaknya bukit sampai menyusur ke lembah, aliran air itu mengalir bagaikan ular yang mengekor dan menjalar turun menuju lembah. Dibawah siraman hujan deras itu, terlihat dua sosok bayangan berlari tersuruk-suruk dengan tubuh yang berdarah-darah menuruni lereng bukit. Keduanya kadang harus jatuh bangun untuk berlari meninggalkan lereng yang menurun itu menuju lembah. Sesekali keduanya menggapai-gapai pohon-pohon yang ada ditepi jalan untuk sekedar menopang tubuhnya yang gontai.
Akhirnya dua orang yang terluka itu mampu juga mencapai pemukiman penduduk setempat, setelah berjuang mati-matian berlari diantara pekatnya malam dan siraman hujan deras. Mereka sampai pada sebuah kademangan yang letaknya dibawah gunung Tidar, kademangan yang bernama Matesih.
Malam itu juga regol kademangan dikagetkan kehadiran dua orang yang terluka itu. Dua orang itu berjalan limbung, hingga akhirnya jatuh dimuka regol. Dua petugas yang berjaga di regol, langsung memberitahu Ki Wulungan sebagai demang di Matesih. Ki Demang Wulungan pun terkejut bukan kepalang, kedua orang itu ternyata terluka cukup parah. Satu orang dada kirinya tertusuk keris hingga tembus ke punggung, sementara yang satu lagi tubuhnya penuh luka sayatan pedang, dan lukanya itu terus saja mengeluarkan darah. Ki Demang Wulungan yang tidak sampai hati melihatnya, langsung meminta penjaga regol untuk membawanya ke sebuah bilik yang letaknya terpisah di pekarangan. Tujuannya, agar tidak membuat takut anak dan istrinya. Ki Demang Wulungan sendiri adalah seorang yang ahli dalam pengobatan, tapi walau begitu ia tidak bisa bekerja sendiri. Ditengah malam itu ia membangunkan putranya yang masih umur belasan, yang bernama Linggar.
“Bangunlah Linggar! Ada orang yang terluka. Kita tidak bisa membiarkan mereka meregang nyawa tanpa pertolongan. Sediakanlah air panas dan bawalah ke bilik belakang. Berhati-hatilah jangan sampai mengejutkan ibu dan adikmu!”
Anaknya yang bernama Linggar itu memicingkan matanya sesaat, lalu bangun dan bergegas menyediakan apa yang baru saja diminta ayahnya. Linggar adalah anak yang cekatan dan patuh pada orang tuanya. Kendati pun ayahnya seorang demang yang kaya raya, tidak lantas membuatnya bermalas-malasan. Disiapkannya beberapa ramuan obat yang telah ditumbuknya, kemudian membungkusnya sesuai takaran yang diinginkan ayahnya.
Kedua orang yang terluka itu masih dalam keadaan pingsan, keris ditubuh salah seorang diantaranya telah berhasil dikeluarkan, sementara satu lagi yang lukanya bersilangan telah ditaburi bubuk obat.
Setelah mendapat perawatan khusus, beberapa saat kemudian kedua orang yang pingsan itu sudah dapat membuka matanya. Meskipun keadaannya masih sangatlah lemah. Ki Wulungan pun dapat bernapas dengan lega sekarang, setelah usahanya memeberi pertolongan membuahkan hasil. Menurut perhitungannya mereka hanya butuh istirahat yang cukup, dan minum beberapa ramuan obat yang telah diraciknya. Maka keduanya mungkin sudah dapat diajak bicara.
“Linggar jagalah kedua orang ini, berilah ramuan obat itu sesuai aturan. Mudah-mudahan esok mereka berdua sudah bisa diajak bicara.”
“Baik ayah. Tetapi bagaimana jika ibu bertanya tentang kedua orang ini?”
“Aku akan memberitahunya dengan hati-hati, tetapi tentu tidak sekarang. Hari masih gelap, walaupun ayam jantan sudah mulai berkokok.”
Setelah berpesan, Ki Demang Wulungan pun kembali ke pendapa, dan memanggil penjaga pintu regol.
“Keadaan menjadi tidak menentu akhir-akhir ini. Aku tidak mengenal kedua orang yang terluka tadi, tetapi aku tidak bisa membiarkan mereka mati kehabisan darah,”Ki Wulungan berhenti sejenak.
“Kalian harus lebih waspada, banyak sekali kekacauan dan fitnah. Aku sudah memerintahkan Ki Jagabaya menyebar pengawal kademangan ke seluruh wilayah kademangan ini untuk memantau keadaan.”
“Baik Ki Demang. Tetapi apakah tidak sebaiknya kita beritahukan para bebahu kademangan sebelum timbul kecurigaan diantara kita,” berkata salah seorang penjaga itu.
“Itu ada baiknya. Tetapi aku sudah mencium aroma persekongkolan diantara para bebahu, aku tidak mau ada masalah sebelum persoalannya menjadi terang benderang. Sepertinya mereka telah mendukung Laskar Jipang yang membuat landasan di lereng Tidar itu, dengan harapan imbalan jika mereka berhasil kelak.”
“Aku mempercayai kalian berdua karena kalian berdua telah lama mengabdi di kademangan ini. Untuk itu jagalah jangan sampai para bebahuku tahu akan hal ini. Sebelum aku mengetahui sikap mereka akan kehadiran Laskar Jipang di lereng Tidar itu!”
“Jadi berhati-hatilah. Bunyikan kentongan dengan nada titir jika ada bahaya!”
Kedua penjaga regol yang seusia dengan Ki Demang itu mengangguk-angguk. Sejak kehadiran orang-orang tak dikenal di lereng gunung Tidar itu memang membuat keadaan kademangan tidak menentu.
Dalam pada itu ternyata peristiwa dirumah Ki Demang itu tidak luput dari pengamatan orang dibalik gerumbul semak di luar pagar rumah Ki Demang.
“Ini saatnya kau ambil alih Ki Jagabaya! Ini bisa jadi alasan untuk melengserkan jabatannya sebagai Demang,” kata salah seorang yang berada berada dibalik gerumbul semak tadi.
“Apa maksudmu?” tanya orang yang dipanggil Ki Jagabaya.
“Ki Demang Wulungan selama ini tidak mendukung keberadaan laskar Jipang yang membuat landasan di Matesih. Tetapi justeru orang yang ia tolong itu adalah orang yang melarikan diri dari kejaran prajurit Demak di lereng Tidar tadi siang. Itu artinya orang yang terluka itu adalah laskar Jipang,” kata orang disebelah Ki Jagabaya yang berbadan gelap itu.
“Aku jadi bertambah bingung. Harusnya kita prihatin karena laskar Jipang yang kita dukung mengalami kekalahan, artinya perjuangan kita akan kandas,” sahut Ki Jagabaya.
“Ki Jagabaya.., sebentar lagi prajurit Demak pasti akan menyisir kademangan ini untuk mencari dua orang buron yang ditolong Ki Demang itu. Kita dapat mengambil keuntungan dari situasi ini, yaitu dengan mendahului melaporkannya pada prajurit Demak, bahwa Demang di Matesih itu bukan menolong orang yang terluka semata, tetapi lebih dari itu, yaitu telah melindungi orang-orang Jipang. Itu artinya ia akan dianggap memberontak, karena telah menyembunyikan laskar Jipang dirumahnya.”
“Kau tahu artinya?” tanya lawan bicara Ki Jagabaya kemudian. “Jabatan demang yang disandang Ki Wulungan akan segera dicopot, dan kemudian dia akan digelandang Ke Demak sebagai seorang yang dianggap memberontak!”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk dan tersenyum, “otakmu encer juga ternyata!”
“Dan jabatan Demang itu akan aku ambil alih begitu?” kata Ki Jagabaya bersemangat.
Dua orang yang berada dibalik gerumbul itu pun kemudian tertawa dengan suara tertahan, setelah memantapkan niat liciknya pada Ki Demang. Setelah itu mereka mengendap-endap meninggalkan kademangan itu tanpa diketahui penjaga regol Kademangan.
Begitulah, hari demi hari keadaan kedua orang yang dirawat di rumah Ki Demang itu pun berangsur-angsur membaik.
Tetapi hal itu ternyata senada dengan dugaan Ki Jagabaya dan pengiringnya beberapa waktu lalu. Bahwa para prajurit Demak kemudian menyisir kademangan Matesih untuk mencari dua buron yang melarikan diri itu.
Di sebuah perbatasan Kademangan, Ki Jagabaya melihat serombongan berkuda hendak memasuki daerah Matesih. Ia pun berdiri di sisi jalan menunggu rombongan itu melintas.
“Tepat seperti dugaan kita! Akhirnya mereka datang juga, Sura Keling!” ujar Ki Jagabaya bersemangat. “Cepat hubungi orang-orang yang mendukung kita, sebentar lagi Ki Demang di Matesih akan kita arak keluar Kademangan ini!” katanya lagi, lantas tertawa sambil bertolak pinggang.
“Baik Ki Jagabaya. Tetapi jangan lupa pewaris kademangan yaitu Linggar harus disingkirkan pula, agar tidak menjadi duri dalam daging kelak!” sahut Surakeling.
“Itu sudah aku pikirkan sebelumnya, Surakeling. Lekaslah bergegas!”
Sura Keling tidak membuang kesempatan ia langsung menghubungi para bebahu dan orang kademangan yang sepaham dengan mereka. Orang-orang itu langsung menyebarkan fitnah diantara para penduduk, dan menyebut Ki Demang di Matesih adalah pemberontak. Berita itu dengan cepat menyebar ke seluruh padukuhan seperti api yang menjalar. Orang-orang kademangan keluar rumah berdiri berjajar di jalan yang mengarah ke kademangan. Tetapi ada pula sebagian orang yang memilih berdiri di halaman rumahnya, karena tidak percaya perihal itu. Sebagian besar mereka mengenal Ki Demang adalah sosok yang baik, pekerja keras dan penuh perhatian pada rakyatnya.
Akan tetapi usaha menghasut Ki Jagabaya dan orang-orangnya telah menyeret padukuhan lain yang jaraknya jauh untuk percaya akan hal itu.
Tetapi ada juga orang yang tidak terhasut akan berita yang tersiar itu. Sepasang kakek dan nenek tua berdiri di muka rumahnya sambil melihat lalu-lalang orang yang berjalan menuju kademangan.
“Tidak mungkin Nyi. Tidak mungkin Demang Wulungan berbuat seperti itu!” berkata seorang kakek  tua tadi.
“Benar Ki. Tetapi harta dan gegayuhan bisa merubah sifat seseorang.”
“Tetapi demang yang satu ini lain Nyi. Kau tentu tahu bagaimana ia berusaha memperbaiki rumah kita yang pada waktu itu tiangnya sudah mulai rapuh disana-sini, ia pun langsung memerintahkan orang untuk memperbaiki gubuk kita yang hampir roboh itu. Bahkan demang itu tak sungkan ikut bekerja memperbaikinya, walaupun ia demang yang kaya tetapi pengabdiannya tulus Nyi.”
Nenek tua disebelah kakek itu mengangguk-angguk. “Mudah-mudahan berita itu tidak benar Ki.”
“Kita berdoa saja Nyi, mudah-mudahan demang yang ringan tangan itu diberi keselamatan,” kata kakek tua itu sambil membimbing istrinya masuk kembali ke rumahnya.



6 komentar:

Pengikut